Kamis, 04 Desember 2008

Empat Buku Baru dari Sastrawan Made Suarsa


PENGARANG Bali yang juga dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (FS) Unud, Drs. I Made Suarsa, M.S., menandai tahun 2008 ini dengan sangat istimewa. Betapa tidak, tahun ini Suarsa merilis empat buku. Buku pertama, Geguritan Ken Arok Ken Dedes: Pralinaning Bhumi Singasari (Paramita Surabaya). Buku kedua, Pupulan 12 Carita Cutet Basa Bali Merta Matemahan Wisia (Paramita Surabaya). Buku ketiga, Teks, Koteks, Konteks: Fenomena atas Fenomena atas Fenomena (Udayana University Press). Buku terakhir, Geguritan Kanakaning Kanaka: Panca Dasat Warsa Fakultas Sastra Unud (Udayana University Press).
Suarsa memang menjadi salah satu pengarang produktif. Sejak tahun 2004, hampir setiap tahun Suarsa menelorkan buku. Baik buku kumpulan puisi berbahasa Bali, kumpulan cerpen berbahasa Bali atau pun geguritan.
"Saya memang setiap hari menulis. Setiap ide yang saya dapat tidak pernah saya abaikan," kata Suarsa.

Geguritan Ken Arok Ken Dedes mengisahkan perjalanan seorang Ken Arok merengkuh kekuasaan di Tumapel hingga bisa mendirikan kerajaan Singosari. Namun, kerajaan Singosari akhirnya berakhir memilukan saat kekuasaan dipegang Kertanegara.
Geguritan Suarsa yang kedua, Kanakaning Kanaka menceritakan tentang perjalanan 50 tahun Faksas Unud, almamaternya sekaligus tempatnya mengajar. Tahun 2002, peraih dua kali hadiah sastra Rancage ini juga sudah menulis geguritan tentang Faksas Unud.
Suarsa juga kembali menunjukkan kepiawaiannya bertutur dalam kumpulan cerita pendek berbahasa Bali, Merta Matemahan Wisia. Ada 12 cerpen yang dimuat dalam buku ini. Temanya beragam, mulai dari tradisi alangkahi karang hulu hingga fenomena selingkuh.
Yang menarik, bukunya yang berjudul Teks, Koteks, Konteks. Buku ini merangkum kumpulan tulisan kolom Suarsa yang diuat di Bali Post dan Nusa Tenggara sejak tahun 1994 hingga 1996. Buku ini menunjukkan Suarsa tidak hanya cakap mengarang puisi dan cerpen, tetapi juga bernas dalam menulis kolom.
Keempat buku Saursa ini layak dibaca oleh mereka yang menekuni dunia sastra tradisi geguritan, sastra Bali modern atau pun pemerhati masalah sosial, sastra, budaya dan politik. Buku kumpulan tulisan Suarsa, Teks, Koteks, Konteks justru kaya informasi sosial, sastra, budaya dan politik pada masanya.

Menengok Buku-buku Kumpulan Cerpen Cerpenis Bali


DALAM jagat cerpen Indonesia, Bali tergolong cukup diperhitungkan. Pasalnya, pulau mungil ini memiliki banyak cerpenis. Mulai dari Nyoman Rastha Sindu dari generasi tahun 70-an --yang terkenal dengan cerpennya, “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” yang dipilih sebagai cerpen terbaik oleh Majalah Horizon-- hingga Kadek Sonia Piscayanti. Karya-karya mereka tersebar di berbagai media massa massa cetak nasional, baik media umum maupun media khusus sastra.
Selain itu, banyak juga cerpenis-cerpenis Bali yang menerbitkan cerpen-cerpennya dalam buku kumpulan cerpen. Penerbitan cerpen para cerpenis Bali dalam buku kumpulan cerpen sendiri mulai gencar terlihat sejak tahun 2001 lalu. Oka Rusmini, cerpenis, novelis dan penyair yang juga wartawan Bali Post menerbitkan buku kumpulan cerpen, Sagra. Oka Rusmini sempat mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 untuk novelnya, Tarian Bumi.

Tahun 2003, cerpenis, penyair dan wartawan Kompas, Putu Fajar Arcana menerbitkan buku kumpulan cerpen, Bunga Jepun. Dua tahun kemudian, Fajar Arcana kembali menerbitkan buku kumpulan cerpennya, Samsara.
Pada tahun 2004, penyair, novelis dan cerpenis yang sempat menjadi tahanan politik (tapol), Putu Oka Sukanta menerbitkan buku kumpulan cerpen, Rindu Terluka. Sebelumnya, Putu memang terbilang sudah banyak menerbitkan buku kumpulan cerpen, novelet dan puisi.
Setahun kemudian, penyair dan cerpenis, Wayan “Jengki Sunarta” tampil dengan dua buku kumpulan cerpennya. Pertama, Cakra Punarbhawa yang diterbitkan Gramedia serta Purnama di Atas Pura yang diterbitkan Grasindo. Akhir 2005, cerpenis, novelis dan kritikus sastra, Sunaryono Basuki Ks juga meramaikan buku kumpulan cerpen dengan Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura.
Januari 2006, cerpenis, novelis dan wartawan, Gde Aryantha Soethama menggebrak dengan buku kumpulan cerpennya, Mandi Api. Bahkan, buku Aryantha ini mendapat hadiah Khatulistiwa Award. Dialah sastrawan Bali pertama yang mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut.
Tahun 2007, dunia buku kumpulan cerpen di Bali kian semarak dengan terbitnya tiga buku kumpulan cerpen dari tiga cerpenis. Buku pertama dari Kadek Sonia Piscayanti, Karena Saya Ingin Berlari. Buku kedua dan ketiga terbit berkaitan penganugerahan Widya Pataka dari Gubernur Bali yakni Padi Dumadi karya Made Adnyana Ole dan Penari Sanghyang karya Mas Ruscitadewi.
Selain buku-buku kumpulan cerpen tunggal, terbit pula buku kumpulan cerpen bersama sejumlah cerpenis. Bali Post menerbitkan buku kumpulan cerpen Obituari bagi yang tak Mati yang memuat 10 cerpen terbaik Bali Post 2001. Kompas juga menerbitkan buku kumpulan cerpen pilihan Kompas 2004, Sepi pun Menari di Tepi Hari yang memuat tiga cerpen pengarang Bali yakni Cok Sawitri, Putu Fajar Arcana dan Wayan Sunarta.
Dari sekian banyak buku kumpulan cerpen yang terbit, tema-tema yang diangkat masih berkisar ketegangan antara tradisi dan modernitas di Bali. Bahkan, pada cerpen-cerpen Aryantha Soethama warna ketegangan itu sangat terasa.

Rabu, 03 Desember 2008

Frans Nadjira: Jangan Takut Jadi Penyair


"JANGAN takut jadi penyair!" Begitulah pesan penyair senior Bali, Frans Nadjira dalam sebuah diskusi di Denpasar beberapa tahun lalu. Memang, diakui Frans, menjadi penyair tidak memberikan keuntungan material. Karenanya, seorang penyair yang sedang berproses menjadi penyair jangan berharap apa-apa dari kegiatannya menyair. Malah, menurut dia, sang penyairlah yang mesti memberi untuk sajak.
"Inilah sumbangan kita kepada bangsa dan negara," ujarnya. Menulis sajak merupakan salah satu upaya untuk menghidupkan bahasa. Menghidupkan bahasa berarti menghidupkan bangsa karena bahasa menunjukkan suatu bangsa.

Penyair yang dikenal dengan sajaknya berjudul, "Pohon Kesayangan Burung-burung Terbakar" ini menganggap sajak memiliki kekuatan mahadahsyat. Dia mencontohkan ketika tiga buah sajaknya dimuat di harian Kompas beberapa tahun lalu. Saat itu, dia mendapat telepon dari teman-temannya yang sudah lama tidak pernah bertemu atau berkomunikasi lagi dengannya.
"Malah, ada yang bertanya kepada saya, 'Kamu masih hidup ya? Aku kira kamu sudah mati.' Wah, berarti sajak itu memiliki kekuatan dahsyat," tutur Frans.
Frans kemudian bercerita, ketiga sajaknya itu sesungguhnya sudah disimpannya cukup lama. Namun, karena ingin 'memanas-manasi' penyair-penyair muda di Bali, dia mengirim sajak-sajaknya itu ke Kompas. "Kalian yang muda-muda mestinya terus menulis. Aku saja yang tua begini masih menulis. Bahkan, mau mati sekali pun harus tetap menulis!"
Memang, Frans merupakan satu di antara jajaran penyair Bali yang tetap menulis meski usianya sudah kian senja. Lelaki kelahiran Makasar, 3 September 1942 ini tidak saja dikenal sebagai penyair, tetapi juga cerpenis dan pekukis.
Pada dasa warsa 60-an, FRansbergiat pada kalangan sastra dan seni di Jakarta. Lukisannya dipamerkan pertama kali di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1970. Tahun 1974, dia pindah ke Denpasar meneruskana metode melukis psikografi sekaligus melakukan berbagai kegiatan pengembangan sastra di Bali.
Sudah cukup banyak sajaknya yang dibukukan. Dua kumpulan sajak tungalnya, Jendela Jadikan Sajak (2003) dan Curriculum Vitae (2007). Sebuah buku kumpulan cerpen diterbitkannya tahun 2004 bertajuk Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun.

Jalan Lain AA Panji Tisna


TENTU bukan sebuah kebetulan jika Anak Agoeng Pandji Tisna menggunakan nama-nama orang dari golongan Sudra (kebanyakan) sebagai judul empat roman pentingnya. Tengok saja, Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), Ni Sukreni Gadis Bali (1936), I Swasta Setahun di Bedahulu (1937) dan I Made Widiadi Kembali Kepada Tuhan (1957). Cerita yang dialirkan dalam keempat roman itu pun sangat dekat dengan potret kehidupan orang-orang di luar istana.
Pilihan tema Pandji Tisna ini tentu saja berbeda jauh dengan tema karya sastra tradisional Bali yang dikenal sangat istanasentris. Ceritanya biasanya tak jauh dari kehidupan para penguasa dengan aneka intrik-intrik politiknya. Karenanya, secara literer, Pandji Tisna tidak saja memilih medium yang berbeda –menggunakan bahasa Indonesia (Melayu) yang kala itu masih sulit dikuasai orang Bali—tetapi juga keluar dari pakem sastra tradisi.
Pilihan kepada tokoh-tokoh di luar kehidupan istana boleh jadi merupakan cerminan sikap seorang Pandji Tisna terhadap kebudayaannya sendiri. Bahwa dia sedang melakukan kritik serta otokritik terhadap kebudayaan yang membesarkannya.
Jalan lain yang ditempuh Pandji Tisna dalam sastra itu semakin bisa dipahami jika kita mencoba melihat sisi kehidupan kesehariannya. Sebagai putra pertama Raja Buleleng X, Pandji Tisna ternyata menunjukkan diri sebagai orang yang sama sekali tidak ambisius untuk menduduki tahta tersebut. Dia lebih senang hidup di luar tembok puri. Dia membangun tempat peristirahatan di desa Tukad Cebol (sekarang terkenal dengan nama Kaliasem) dengan suasana pedesaan dan merakyat.
Namun, karena desakan sang Ayah, Pandji Tisna akhirnya mau juga dilantik sebagai sekretaris pribadi Raja Buleleng itu. Penugasan ini memang diterima Pandji Tisna tetapi dilaksanakannya dengan setengah hati. Sampai akhirnya sang Ayah memberhentikan perannya sebagai sekretaris pribadi.
Akan tetapi, Pandji Tisna akhirnya mau juga menerima jabatan sebagai Raja Buleleng menggantikan sang Ayah. Hanya saja, jabatan ini tidak lama didudukinya. Sepulang dari Eropa pada tahun 1947, Pandji Tisna memilih mengundurkan diri sebagai Raja Buleleng XI dan juga sebagai Ketua Dewan Raja-raja Bali. Kedudukan sebagai Raja Buleleng diserahkan Pandji Tisna kepada adiknya, Anak Agoeng Ngoerah Ktoet Djlantik.
Alasan pengunduran diri Pandji Tisna memang karena dirinya sudah beralih agama ke Kristen. Dia tidak mau menodai konvensi penobatan raja di Bali yang melalui cara agama Hindu.
Namun, pengunduran diri Pandji Tisna mengukuhkan dirinya sebagai seorang yang tidak haus kekuasaan. Malah, Pandji Tisna ingin memberontak dari “tradisi” yang mengharuskan dirinya sebagai raja. Kekuasaan bermakna lain bagi Pandji Tisna.
Yang paling penting, bagaimana cara pandang terhadap kekuasaan dan juga cara untuk mencapainya. Kekuasaan bukanlah jalan untuk menumpuk kekayaan, kekuasaan bukanlah jalan untuk menggapai kemuliaan diri. Kekuasaan adalah juga amanah, adalah juga tanggung jawab. Tanggung jawab untuk berpihak kepada rakyat kecil.
Pandji Tisna telah membuktikan keberpihakannya kepada rakyat kecil dengan mendobrak tradisi hidup di lingkungan istana. Dia memilih hidup sederhana di tengah-tengah rakyatnya. Dia menyelami suara-suara rakyat kecil dan membawa suara-suara itu dalam karya-karyanya. * I Made Sujaya

Saya Takut Kehilangan Kata


Wawancara dengan Pengarang Sastra Bali Modern, I Made Suarsa

DUA kali I Made Suarsa mendapatkan penghargaan sastra Rancage. Pertama tahun 2004 untuk kumpulan puisinya, Ang Ah lan Ah Ang. Kedua, tahun 2006 dengan buku kumpulan puisinya, Gede Ombak Gede Angin.
Suarsa yang sehari-hari sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Udayana ini memang sudah memiliki kecintaan terhadap dunia sastra khususnya dengan medium berbahasa Bali sejak kecil. Terlebih lagi, sang ayah, I Made Sanggra, merupakan seorang pengawi sastra Bali modern yang sudah termahsyur. Seperti apa sesungguhnya sosok seorang Suarsa? Berikut ini petikan perbincangannya.

------------------------------------------------------
Anda dua kali memperohel hadiah Rancage. Apa makna penghargaan ini bagi Anda?
Ya, sebelumnya saya tidak pernah berpikir untuk mendapatkan hadiah ini. Ketika buku saya terbit, saya serahkan saja kepada Darma Putra (Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., koordinator seleksi hadiah Rancage untuk Bali). Bukan ingin karya saya dinilai, tetapi hanya ingin dicatat bahwa karya saya pernah ada.
Latar belakang pendidikan Anda kan sastra Indonesia. Mengapa Anda berkarya di jalur sastra Bali modern?
Sesungguhnya, saya cuma ingin ikut menggairahkan kehidupan sastra Bali modern. Karena saya melihat sastra Bali modern masih kurang. Bila di sastra Indonesia modern, saya melihat sudah banyak yang menulis. Itu yang pertama. Yang kedua, ada pengaruh yang sangat kuat dari ayah saya sendiri.
Anda pernah menulis sastra Indonesia modern?
Pernah, tetapi saya merasakan masih klah jauh dibandingkan karya teman-teman yang lain. Terus terang saja, saya memang agak kesulitan menuliskan ide-ide saya dalam bahasa Indonesia. Ini barangkali karena sejak kecil saya besar di lingkungan geria yang sangat kental dengan kehidupan sastra Bali klasik. Hampir tiap hari saya mendengar orang makekawin. Ini senantiasa berbekas dalam benak saya lalu memberikan keindahan tersendiri.
Oh ya, Anda sebelumnya juga banyak menulis sastra Bali klasik seperti geguritan. Apa perbedaannya menulis sastra Bali modern dan sastra Bali klasik?
Sama-sama menyenangkan. Saya merasakan kesenangan atau kenikmatan tersendiri kalau mencipta geguritan. Sastra Bali modern juga begitu. Hanya memang atmosfirnya berbeda.
Bisa diceritakan proses kreatif Anda?
Saya terbiasa melahirkan rata-rata sehari itu sebuah puisi Bali modern. Bahkan bisa dua atau tiga. Ini karena terlalu banyak fenomena yang saya tangkap di sekitar saya pada setiap hari. Biasanya, sore hari setelah istirahat, saya nongkrong di perpustakaan pribadi saya. Di sana ada buku, ada lontar, ada mesin ketik. Di sanalah saya melayani gelisah kreatif saya. Paginya pun sebelum ke kantor dapat saya nongkrong di perpustakaan barang 30 menit sampai satu jam. Di kantor pun saya bisa menulis puisi, umumnya menghaluskan puisi-puisi yang saya tulis sebelumnya. Saya biasanya langsung menuliskan bila ada sinyal yang mampir ke benak saya. Saya pernah lari dari kamar mandi karena menemukan sebuah kata yang saya anggap bagus. Saya takut sekali kata itu hilang.
Satu hari satu puisi itu menjadi target pribadi Anda?
Bukan. Kadang-kadang kalau sedang blank, saya bisa tak mendapatkan apa-apa. Itu kan sangat tergantung kepada atmosfir. Tapi, rata-rata saya memang bisa menulis sebuah puisi Bali modern.
Dalam berkarya Anda sering berkonsultasi dengan ayah Anda?
Oh, sering. Begitu puisi-puisi saya selesai, saya sodori bapak. Bahkan pernah pilihan-pilihan kata saya dicoret oleh beliau. Coretan itu bukan berarti perintah untuk menghapus, tetapi sebuah pertimbangan. Hanya memang saya lebih sering menuruti, karena saya anggap bahsa bpak saya lebih bagus, lebih halus.
Anda menglami kesulitan dalam berkarya?
Suatu waktu, seorang pengarang atau penulis pasti akan mengalami kesulitan. Dalam pemilihan diksi misalnya. Saya sendiri selalu berdampingan dengan kamus. Makanya tidak ada kata-kata dalam puisi saya yang tidak baku. Misalnya, menukis sesate apakah harus ditulis sasate atau sesate, saya harus cek ke kamus. Bhatara itu pakai “h” atau tidak, ternyata tidak. Tanpa bermaksud mengecilkan, karya sastra Bali modern saat ini banyak mengabaikan masalah ini. Penulisan kata-kata dalam bahasa Bali sering ngawag, tidak berpijak kepada kamus.
Sekarang soal nasib sastra Bali modern. Banyak orang resah dan galau mengenai nasib sastra Bali modern. Sebetulnya seberapa parah kondisi sastra Bali modern kita saat ini?
Orang resah dengan nasib sastra Bali modern kan karena ada perbandingan. Dibandingkan dengan sastra Indonesia modern atau dibandingkan dengan sastra Jawa dan Sastra Sunda modern, sastra Bali modern itu masih jauh. Malah, dibandingkan dengan sastra Bali klasik saja, sastra Bali modern masih klah jauh. Coba Anda lihat, buku-buku sastra Bali klasik seperti geguritan yang terbit itu cukup banyak, lebih banyak dari sastra Bali modern. Ya, ini wajar-wajar saja. Di Bali orang memang lebih bisa memahami sastra Bali klasik. Lantaran itulah basic kita. Basic kita manyi, arja, gambuh, prembon. Semua itu kan identik dengan sinom, identik dengan dangdang, identik dengan pangkur, identik dengan ginada. Karena itu, sastra Bali klasik lebih banyak punya pasar, lebih banyak punya pengapresiasi di Bali dibandingkan sastra Bali modern. Namun harus diakui, belakangan memang sudah semakin membaik. Tahun 2003 misalnya hanya terbit delapan buah buku sastra Bali modern, sedangkan tahun 2004 meningkat menjadi 14 buah karya.
Sastra Bali modern cenderung berkembang sebagai sesuatu yang marginal. Kenapa seperti itu?
Memang seperti itu. Sastra daerah modern, di mana-mana memang seperti itu. Dalam konteks pembicaraan umum pun, sastra selalu termarginalkan. Sekarang memang sudah lebih baik. Dengan adanya hadiah Rancage, munculnya media-media yang memuat karya-karya sastra Bali modern seperti Buratwangi, Canang Sari termasuk Bali Post yang terkadang juga memuat puisi-puisi dan cerpen Bali modern, kendati masih terbatas. Kita memang tidak mengharapkan sastra Bali modern begitu terus. Pemerintah mesti berperanan untuk membantu pertumbuhannya. Terlebih lagi sudah ada Peraturan Daerah (Perda) mengenai perlindungan aksara dan bahasa Bali termasuk di dalamnya sastra Bali modern. Perda itu tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi dengan action, khususnya masalah dana. Balai Bahasa selaku lembaga pembina bahasa misalnya mesti membagi perhatiannya kepada sastra Bali modern selain sastra Indonesia modern.
Terkait masa depan sastra Bali modern ini, peran Fakultas Sastra selalu menjadi perhatian. Sebagai orang Fakultas Sastra bagaimana Anda memandang hal ini?
Memang, Fakultas Sastra khususnya Jurusan Sastra Bali mesti berperanan. Karena itulah, Fakultas Sastra berketetapan hati tidak akan menutup Jurusan Sastra Daerah meskipun peminatnya sedikit. Meskipun tidak ada mahasiswa, jurusan ini mesti jalan terus. Syukur saat ini jumlah peminat Jurusan Sastra Daerah sudah kian meningkat. (*)

Biodata
Nama Lengkap : Drs. I Made Suarsa, M.S.
Tempat, Tanggal Lahir : 15 Mei 1954
Istri : Ni Luh Gede Siti Aryani, S.H.
Anak : Putu Eka Rajasa
Made Adi Kartika Yasa
Pekerjaan : Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana
(Pembantu Dekan II Fakultas Sastra Unud)
Buku-buku yang telah terbit : 1. Amanat Geguritan Purwa Sangara (1985)
2. Orang-orang di Sekitar Pak Rai (1995)
3. Prastanika Parwa lan Swargarohana Parwa (1999)
4. Oka Susharma : Pendidik Pejuan, Pejuang Pendidik (Sebuah Biografi) (2001)
5. Geguritan Sastrodayana Tatwa : Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana (2002)
6. Geguritan Udayanotama Tatwa : Parindikan Universitas Udayana (2002)
7. Geguritan Dalem Segara Petasikan Purana : Pariindikan Pura Dalem Segara Petasikan (2002)
8. Geguritan Sakuntala : Lelangit Para Pandawa lan Korawa (2002)
9. Ang Ah lan Ah Ang (Pupulan Puisi Bali Anyar) (2004)
10. Gede Ombak Gede Angin (Pupulan Satua Cutet, 2006)
11. Kunang-kunang Anarung Sasi (Pupulan Puisi Bali Anyar, 2007)


"Berselingkuh" dengan Cerpen


Wawancara dengan Penyair dan Cerpenis Bali, I Wayan "Jengki" Sunarta


WAYAN Sunarta masih digolongkan sebagai sastrawan muda Bali, memang. Namun, karya-karya lelaki yang akrab disapa Jengki ini kerap kali mengundang perhatian. Karenanya, dalam beberapa kali perlombaan mengarang atau menulis, Jengki sering kali tampil sebagai pemenang tau setidak-tidaknya masuk menjadi nominasi.
---------------------------------------
Anda menulis dalam genre puisi dan cerpen. Mana lebih sulit, menulis cerpen atau puisi?
Sebenarnya, dibandingkan cerpen atau novel, lebih sulit menulis puisi. Kalau menulis puisi menunggu mood dulu, sampai tiga bulan tidak bisa menulis puisi. Kalau menulis cerpen kita bisa mengarang-ngarang sendiri, alurnya gimana, tokohnya kayak apa, jalan ceritanya seperti apa. Jadi, kalau pun tidak ada ide, kita bisa mencoba mengarang-ngarang. Kalau puisi tidak bisa seperti itu. Namun, dibanding cerpen atau novel, penghargaan terhadap puisi lebih kecil. Karena bagi kebanyakan penerbit, puisi itu dianggap kurang laku dibandingkan cerpen atau novel. Makanya, sangat jarang penerbit yang mau menerbitkan puisi. Saya berencana menerbitkan kumpulan puisi. Saya pernah kirimkan kumpulan puisi saya ke dua penerbit di Yogya, satu tahun tak da jawaban. Lalu syabawa ke penerbit lain, juga nasib saya sama. Jadi, kumpulan puisi saya sudah dua tahun mengalami pengendapan di penerbit. Sejak 2002 saya gagal menerbitkan kumpulan puisi. Tapi, cerpen beda. Cerpen malah penerbit justru banyak mencari penulis-penulis muda untuk diterbitkan menjadi buku. Meski begitu, saya tetap menulis puisi. Dan saya tetap berangan-ngan memiliki buku kumpulan puisi tunggal. Karena awalnya saya dulu hidup karena puisi, saya bisa keliling ke mana-mana diundang ke mana-mana karena puisi. Kalau cerpen, sejujurnya, hanya main-main saja. Bahkan, cerpen saya Cakra Punarbhawa itu dulunya adalah puisi panjang. Karena panjangnya, saya ubah formatnya menjadi cerpen. Saya iseng-iseng kirim ke Kompas ternyata dimuat dan diangap oleh orang-orang cukup kuat.
Apakah cerpen menjadi semacam pelarian Anda dari puisi?
Kadang-kadang ada ide kita, ada keinginan kita yang tidak terpenuhi lewat puisi, kita coba lewat cerpen. Ada juga ide kita yang tidak terpenuhi dalam cerpen, bisa terpenuhi dalam puisi. Karena itu, bagi saya, antara puisi dan cerpen itu saling melengkapi. Kadang-kadang ada puisi yang dikembangkan jadi cerpen, ada juga cerpen yang bisa diperas menjadi puisi. Jadi, itu semacam ulang-alik antar-genre sastra. Kalau saya ingin memberontak, agak sulit lewat puisi karena tipe puisi saya tipe puisi kamar atau puisi-puisi yang hanya enak untuk dibaca di dalam kamar. Puisi-puisi saya lebih banyak imajis, simbolis. Bukan puisi-puisi kritik sosial. Karena itu saya berjuang lewat cerpen.
Ada niat bikin novel?
Nah, ini. Darma Putra bilang puisi-puisi saya ada dalam perbatasan antara cerpen dan novel. Memang ada cerpen-cerpen saya bisa dikembangkan menjadi novel. Saya punya niat besar sekali untuk membuat novel. Karena dalam novel kita bisa lebih bebas. Kalau cerpen kita akan ada batasan-btasan. Tidak boleh lebih dari 2.000 kata. Tapi dalam novel kita bebas menari. Hanya permasalahan saya, saya punya dasar yang malas. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa.
Anda lebih bangga disebut penyair atau cerpenis?
Jujur saja saya lebih memiliki kebanggaan, lebih memiliki kepuasan batin kalau saya disebut penyair. Kalau menulsi cerpen, seperti saya katakan tadi, saya hanya iseng. Saya lebih dari 14 tahun saya menulis puisi.
Sesungguhnya apa yang ingin disampaikan dalam Cakra Punarbhawa?
Cerpen itu sejatinya bermula dari peristiwa bom Kuta. Saya membayangkan seperti roh yang menitis berulang kembali dan mengalami nasib sial terus. Sejak zaman Gajah Mada, zaman 45, zaman Gestok, zaman Petrus sampai puncaknya Bom Kuta. Dari sanalah saya mencoba menggugat keberadaan Tuhan. Pesan yang ingin saya sampaikanm hidup ini adalah maya, hidup ini adalah siklus. Dunia itu absurd, hidup itu absurd. Sejak kecil saya memang senang baca-baca cerita wayang, cerita-cerita mistik, sehingga saya terobsesi dengan cerita-cerita mistik.
Melanie Budianta mengatakan cerpen Anda itu mirip dengan Cala Ibi-nya Nukila Amal. Anda memang terpengaruh dengan novel itu?
Memang, Melanie Budianta sempat membandingkan beberapa bagian awal cerpen saya mirip dengan Cala Ibi. Kalau dibilang mirip sepintas mungkin ya. Cuma, kalau dibaca secara lebih seksama, sebenarnya beda. Cerpen itu mirip seperti Cala Ibi, bahasanya dengan bahsa puisi. Sedangkan Cala Ibi dlah novel dengan taburan bhasametafora. Nah, di sanalah kemiripan Cakra Punarbhawa dengan Cala Ibi. Sama-sama menggunakan kekuatan puisi dalam karya prosa.
Dosen Unud, Darma Putra mengatkan pengarang Bali tidak kuasa melawan tradisi. Ini terbukti dari tokoh-tokoh yang tampil dalam karya-karya pengarang Bali yang sebagian besar digambarkan kalah, dikalahkan atau mengalah. Anda digolongkan ke dalam pengarang Bali seperti itu. Komentar Anda?
Ya memang betul. Saya memang menocba menggugat tradisi yang kolot, seperti kembar buncing. Tetapi saya sadar betul, kalau kita menggugat itu secara frontal, kita tidak akan mampu. Karena adat seperti itu sudah mengakar ratusan tahun. Gen-gen orang Bali sudah sadar dengan adat itu. Dalam cerpen "Kembar Buncing" misalnya saya mencoba mendobrak dengan membawa sang tokoh ke kota, karena di desa tak direstui. Kadang-kadang saya memiliki romantisme untuk kembali ke desa. Ini semacam satu kaki saya ingin memberontak adat, tetapi saya juga rindu dengan suasana desa saya. Kalau boleh saya mengajukan otokritik, berarti saya pemberontak tanggung. Saya sadar, kekuatan yang saya lawan itu kekutan yang luar biasa. Namun, saya percaya hal-hal yang kolot seperti itu bisa diberantas. Mungkin dengan perubahan generasi. Pikiran-pikiran kolot itu hanya dimiliki orang-orang tua. Saya berharap ke depan, orang Bali tidak lagi menghukum sesamanya dengan mitos-mitos kolot seperti itu. Ini agar adat Bali lebih mempunyai kemampuan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kalau Anda sadar pemberontakan itu tanggung, buat apa dong Anda menggugat-gugat tradisi?
Bagi saya, sebagai penulis cerpen, saya hanya ingin memberi sedikit penyadaran terhadap masyarakat pembaca bahwa ada memang ketimpangan-ketimpangan seperti itu di Bali. Paling tidak dengan karya saya, memberi penyadaran. Cerpen "Kembar Buncing" misalnya, saya tulis sebelum terjadi kasus kembar buncing di Buleleng. Cerpen itu saya tulis Januari 2004, dimuat Maret 2004. Sementara ksus di Buleleng terjadi bulan April. Saya mencoba memberikan penyadaran mitos-mitos kolot itu dipertahankan dalam konteks kekinian.
Anda sekarang sudah punya berapa puisi?
Saya berangkat dari puisi sejak tahun 1990-an awal sampai sekarang pusi saya ada 200-an. Kalau cerpen, ada 50-an. Sejak 1993 saya memang menulis cerpen, tetapi cerpen-cerpen pop. Selain itu, saya juga menulis esai, features, prosa liris.
Sekarang kepada proses kreatif Anda. Siapa yang banyak berperan hingga Andamenggeluti dunia sastra?
Sebenarnya saya mulai menulis puisi sejak SMP. Saya dulu masuk kelompok pecinta alam. Saya menulis kata-kata puitis dipengaruhi teman duduk saya. Ketika ada pelajaran yang tidak saya sukai, saya menulis puisi. Konyolnya, hinga kini saya tak tahu apakah teman saya itu masih menulis atau tidak. Kelas III SMA saya bertemu dengan Sanggar Minum Kopi, di sinilah saya digojlog. Di sana ada Warih, Tan Lioe Ie, Umbu, merekalah yang menggojlok saya. Selain itu, paman saya, Wayan Langgeng juga mengompori saya. Dia menjadi sparing partner mengkritik puisi-puisi saya. Tapi sekarang dia berhenti menulis, tetapi jadi pemangku.
Anda tidak memiliki pekerjaan rutin dan sepenuhnya menulis?
Ya, pekerjaan saya memang menulis. Tahun 2002, waktu saya tamat kuliah, saya mencoba bekerja di koran, ternyat saya tidak betah. Karena dikejar deadline, nulis hal yang tidak saya suka, wawancara dengan hal yang tidak saya suka. Akhrinya saya mundur dari pekerjaan itu. Agar saya punya kebebasan waktu, saya mempergunakan waktu untuk apa saja, saya kaya dengan waktu. Saya bisa mengatur waktu saya, saya mau bangun siang, mau tidur malam, itu terserah saya. Tapi, saya sadar, ini jalan yang saya pilih yang tentu saja mengandung risiko. Dalam arti, dari segi finansial, saya gali lobang, tutup lobang. Tapi, dari segi kepuasan batin, saya benar-benar puas, saya merasa benar-benar menikmati hidup.
Pernah saya waktu membuat KTP. Saya isi di formulir pekerjaan sebagai penulis. Ternyata, setelah KTP saya jadi, pekerjaan saya diganti dan lain-lain. Ternyata bekerja sebagai penulis, belum diakui di negeri ini. Yang ada itu dan lain-lain.
Bagaimana Anda mengamati kehidupan sastra di Bali?
Di Bali sangat banyak penulis-penulis muda baik penulis cerpen, puisi, novel yang hebat-hebat. Cuma permasalahannya, mereka hanya cukup puas bertempur di tingkat lokal. Mungkin karena tidak mengerti akses cara mengirim ke luar gimana, atau kurang gaul mungkin. Mereka hanya dikenal dan puas di tingkat lokal. Atau mungkin saja mereka menganggap menulis sekadar iseng atau hobi saja. Kalau mereka menganggap menulis sebagai pilihan hidup, mereka akan memperjuangkan itu.

====================================================================
Biodata

Nama Lengkap : Wayan Sunarta
Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar, 22 Juni 1975
Pendidikan : Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Unud
Buku-buku :
1. Obituari bagi yang tak Mati (Antologi Cerpen Lomba Penulisan Cerpen Bali Post, 2001).
2. Muli Sikep (Antologi Cerpen Lomba Cerpen Nasional Krakatau Award, Dewan Kesenian Lampung, 2003).
3. Sepi pun Menari di Tepi Hari (Antologi Cerpen pilihan Komps, 2004).
4. Sphinx Triple X (Antologi Lomba Penulisan Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi, 2004).
5. Antologi Puisi Indonesia (Angkasa, Bandung dan KSI, Jakarta, 1997).
6. Bali After Morning (Antologi puisi, Darma Printing, Australia, 2000).
7. Puisi tak Pernah Pergi (Antologi puisi, Kompas, 2003).
8. Malaikat Biru Kota Hobart (Antologi Puisi, Logung Pustka dan Akar Indonesia, 2004).
9. Maha Duka Aceh (Pusdok HB Jassin, Jakarta, 2005).
10. Cakra Punarbhawa (Kumpulan cerpen tunggal, Gramedia, 2005).

Prestasi Kepengarangan :
1. Juara I Sayembara Penulisan Catatan Perjalanan Harian Bali Post (1993).
2. Sepuluh Cerpen Terbaik dalam Lomba Penulisan Cerpen Nasional Harian Bali Post (2001).
3. Cerpen Pilihan Kompas 2004.
4. Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta.
5. Sepuluh Puisi Terbaik Sanggar Minum Kopi, Bali (1994).
6. Juara I Lomba Penulisan Puisi “Krakatau Award” dari Dewan Kesenian Lampung (2002).