Rabu, 03 Desember 2008

Jalan Lain AA Panji Tisna


TENTU bukan sebuah kebetulan jika Anak Agoeng Pandji Tisna menggunakan nama-nama orang dari golongan Sudra (kebanyakan) sebagai judul empat roman pentingnya. Tengok saja, Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), Ni Sukreni Gadis Bali (1936), I Swasta Setahun di Bedahulu (1937) dan I Made Widiadi Kembali Kepada Tuhan (1957). Cerita yang dialirkan dalam keempat roman itu pun sangat dekat dengan potret kehidupan orang-orang di luar istana.
Pilihan tema Pandji Tisna ini tentu saja berbeda jauh dengan tema karya sastra tradisional Bali yang dikenal sangat istanasentris. Ceritanya biasanya tak jauh dari kehidupan para penguasa dengan aneka intrik-intrik politiknya. Karenanya, secara literer, Pandji Tisna tidak saja memilih medium yang berbeda –menggunakan bahasa Indonesia (Melayu) yang kala itu masih sulit dikuasai orang Bali—tetapi juga keluar dari pakem sastra tradisi.
Pilihan kepada tokoh-tokoh di luar kehidupan istana boleh jadi merupakan cerminan sikap seorang Pandji Tisna terhadap kebudayaannya sendiri. Bahwa dia sedang melakukan kritik serta otokritik terhadap kebudayaan yang membesarkannya.
Jalan lain yang ditempuh Pandji Tisna dalam sastra itu semakin bisa dipahami jika kita mencoba melihat sisi kehidupan kesehariannya. Sebagai putra pertama Raja Buleleng X, Pandji Tisna ternyata menunjukkan diri sebagai orang yang sama sekali tidak ambisius untuk menduduki tahta tersebut. Dia lebih senang hidup di luar tembok puri. Dia membangun tempat peristirahatan di desa Tukad Cebol (sekarang terkenal dengan nama Kaliasem) dengan suasana pedesaan dan merakyat.
Namun, karena desakan sang Ayah, Pandji Tisna akhirnya mau juga dilantik sebagai sekretaris pribadi Raja Buleleng itu. Penugasan ini memang diterima Pandji Tisna tetapi dilaksanakannya dengan setengah hati. Sampai akhirnya sang Ayah memberhentikan perannya sebagai sekretaris pribadi.
Akan tetapi, Pandji Tisna akhirnya mau juga menerima jabatan sebagai Raja Buleleng menggantikan sang Ayah. Hanya saja, jabatan ini tidak lama didudukinya. Sepulang dari Eropa pada tahun 1947, Pandji Tisna memilih mengundurkan diri sebagai Raja Buleleng XI dan juga sebagai Ketua Dewan Raja-raja Bali. Kedudukan sebagai Raja Buleleng diserahkan Pandji Tisna kepada adiknya, Anak Agoeng Ngoerah Ktoet Djlantik.
Alasan pengunduran diri Pandji Tisna memang karena dirinya sudah beralih agama ke Kristen. Dia tidak mau menodai konvensi penobatan raja di Bali yang melalui cara agama Hindu.
Namun, pengunduran diri Pandji Tisna mengukuhkan dirinya sebagai seorang yang tidak haus kekuasaan. Malah, Pandji Tisna ingin memberontak dari “tradisi” yang mengharuskan dirinya sebagai raja. Kekuasaan bermakna lain bagi Pandji Tisna.
Yang paling penting, bagaimana cara pandang terhadap kekuasaan dan juga cara untuk mencapainya. Kekuasaan bukanlah jalan untuk menumpuk kekayaan, kekuasaan bukanlah jalan untuk menggapai kemuliaan diri. Kekuasaan adalah juga amanah, adalah juga tanggung jawab. Tanggung jawab untuk berpihak kepada rakyat kecil.
Pandji Tisna telah membuktikan keberpihakannya kepada rakyat kecil dengan mendobrak tradisi hidup di lingkungan istana. Dia memilih hidup sederhana di tengah-tengah rakyatnya. Dia menyelami suara-suara rakyat kecil dan membawa suara-suara itu dalam karya-karyanya. * I Made Sujaya

Tidak ada komentar: