Rabu, 03 Desember 2008

"Berselingkuh" dengan Cerpen


Wawancara dengan Penyair dan Cerpenis Bali, I Wayan "Jengki" Sunarta


WAYAN Sunarta masih digolongkan sebagai sastrawan muda Bali, memang. Namun, karya-karya lelaki yang akrab disapa Jengki ini kerap kali mengundang perhatian. Karenanya, dalam beberapa kali perlombaan mengarang atau menulis, Jengki sering kali tampil sebagai pemenang tau setidak-tidaknya masuk menjadi nominasi.
---------------------------------------
Anda menulis dalam genre puisi dan cerpen. Mana lebih sulit, menulis cerpen atau puisi?
Sebenarnya, dibandingkan cerpen atau novel, lebih sulit menulis puisi. Kalau menulis puisi menunggu mood dulu, sampai tiga bulan tidak bisa menulis puisi. Kalau menulis cerpen kita bisa mengarang-ngarang sendiri, alurnya gimana, tokohnya kayak apa, jalan ceritanya seperti apa. Jadi, kalau pun tidak ada ide, kita bisa mencoba mengarang-ngarang. Kalau puisi tidak bisa seperti itu. Namun, dibanding cerpen atau novel, penghargaan terhadap puisi lebih kecil. Karena bagi kebanyakan penerbit, puisi itu dianggap kurang laku dibandingkan cerpen atau novel. Makanya, sangat jarang penerbit yang mau menerbitkan puisi. Saya berencana menerbitkan kumpulan puisi. Saya pernah kirimkan kumpulan puisi saya ke dua penerbit di Yogya, satu tahun tak da jawaban. Lalu syabawa ke penerbit lain, juga nasib saya sama. Jadi, kumpulan puisi saya sudah dua tahun mengalami pengendapan di penerbit. Sejak 2002 saya gagal menerbitkan kumpulan puisi. Tapi, cerpen beda. Cerpen malah penerbit justru banyak mencari penulis-penulis muda untuk diterbitkan menjadi buku. Meski begitu, saya tetap menulis puisi. Dan saya tetap berangan-ngan memiliki buku kumpulan puisi tunggal. Karena awalnya saya dulu hidup karena puisi, saya bisa keliling ke mana-mana diundang ke mana-mana karena puisi. Kalau cerpen, sejujurnya, hanya main-main saja. Bahkan, cerpen saya Cakra Punarbhawa itu dulunya adalah puisi panjang. Karena panjangnya, saya ubah formatnya menjadi cerpen. Saya iseng-iseng kirim ke Kompas ternyata dimuat dan diangap oleh orang-orang cukup kuat.
Apakah cerpen menjadi semacam pelarian Anda dari puisi?
Kadang-kadang ada ide kita, ada keinginan kita yang tidak terpenuhi lewat puisi, kita coba lewat cerpen. Ada juga ide kita yang tidak terpenuhi dalam cerpen, bisa terpenuhi dalam puisi. Karena itu, bagi saya, antara puisi dan cerpen itu saling melengkapi. Kadang-kadang ada puisi yang dikembangkan jadi cerpen, ada juga cerpen yang bisa diperas menjadi puisi. Jadi, itu semacam ulang-alik antar-genre sastra. Kalau saya ingin memberontak, agak sulit lewat puisi karena tipe puisi saya tipe puisi kamar atau puisi-puisi yang hanya enak untuk dibaca di dalam kamar. Puisi-puisi saya lebih banyak imajis, simbolis. Bukan puisi-puisi kritik sosial. Karena itu saya berjuang lewat cerpen.
Ada niat bikin novel?
Nah, ini. Darma Putra bilang puisi-puisi saya ada dalam perbatasan antara cerpen dan novel. Memang ada cerpen-cerpen saya bisa dikembangkan menjadi novel. Saya punya niat besar sekali untuk membuat novel. Karena dalam novel kita bisa lebih bebas. Kalau cerpen kita akan ada batasan-btasan. Tidak boleh lebih dari 2.000 kata. Tapi dalam novel kita bebas menari. Hanya permasalahan saya, saya punya dasar yang malas. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa.
Anda lebih bangga disebut penyair atau cerpenis?
Jujur saja saya lebih memiliki kebanggaan, lebih memiliki kepuasan batin kalau saya disebut penyair. Kalau menulsi cerpen, seperti saya katakan tadi, saya hanya iseng. Saya lebih dari 14 tahun saya menulis puisi.
Sesungguhnya apa yang ingin disampaikan dalam Cakra Punarbhawa?
Cerpen itu sejatinya bermula dari peristiwa bom Kuta. Saya membayangkan seperti roh yang menitis berulang kembali dan mengalami nasib sial terus. Sejak zaman Gajah Mada, zaman 45, zaman Gestok, zaman Petrus sampai puncaknya Bom Kuta. Dari sanalah saya mencoba menggugat keberadaan Tuhan. Pesan yang ingin saya sampaikanm hidup ini adalah maya, hidup ini adalah siklus. Dunia itu absurd, hidup itu absurd. Sejak kecil saya memang senang baca-baca cerita wayang, cerita-cerita mistik, sehingga saya terobsesi dengan cerita-cerita mistik.
Melanie Budianta mengatakan cerpen Anda itu mirip dengan Cala Ibi-nya Nukila Amal. Anda memang terpengaruh dengan novel itu?
Memang, Melanie Budianta sempat membandingkan beberapa bagian awal cerpen saya mirip dengan Cala Ibi. Kalau dibilang mirip sepintas mungkin ya. Cuma, kalau dibaca secara lebih seksama, sebenarnya beda. Cerpen itu mirip seperti Cala Ibi, bahasanya dengan bahsa puisi. Sedangkan Cala Ibi dlah novel dengan taburan bhasametafora. Nah, di sanalah kemiripan Cakra Punarbhawa dengan Cala Ibi. Sama-sama menggunakan kekuatan puisi dalam karya prosa.
Dosen Unud, Darma Putra mengatkan pengarang Bali tidak kuasa melawan tradisi. Ini terbukti dari tokoh-tokoh yang tampil dalam karya-karya pengarang Bali yang sebagian besar digambarkan kalah, dikalahkan atau mengalah. Anda digolongkan ke dalam pengarang Bali seperti itu. Komentar Anda?
Ya memang betul. Saya memang menocba menggugat tradisi yang kolot, seperti kembar buncing. Tetapi saya sadar betul, kalau kita menggugat itu secara frontal, kita tidak akan mampu. Karena adat seperti itu sudah mengakar ratusan tahun. Gen-gen orang Bali sudah sadar dengan adat itu. Dalam cerpen "Kembar Buncing" misalnya saya mencoba mendobrak dengan membawa sang tokoh ke kota, karena di desa tak direstui. Kadang-kadang saya memiliki romantisme untuk kembali ke desa. Ini semacam satu kaki saya ingin memberontak adat, tetapi saya juga rindu dengan suasana desa saya. Kalau boleh saya mengajukan otokritik, berarti saya pemberontak tanggung. Saya sadar, kekuatan yang saya lawan itu kekutan yang luar biasa. Namun, saya percaya hal-hal yang kolot seperti itu bisa diberantas. Mungkin dengan perubahan generasi. Pikiran-pikiran kolot itu hanya dimiliki orang-orang tua. Saya berharap ke depan, orang Bali tidak lagi menghukum sesamanya dengan mitos-mitos kolot seperti itu. Ini agar adat Bali lebih mempunyai kemampuan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kalau Anda sadar pemberontakan itu tanggung, buat apa dong Anda menggugat-gugat tradisi?
Bagi saya, sebagai penulis cerpen, saya hanya ingin memberi sedikit penyadaran terhadap masyarakat pembaca bahwa ada memang ketimpangan-ketimpangan seperti itu di Bali. Paling tidak dengan karya saya, memberi penyadaran. Cerpen "Kembar Buncing" misalnya, saya tulis sebelum terjadi kasus kembar buncing di Buleleng. Cerpen itu saya tulis Januari 2004, dimuat Maret 2004. Sementara ksus di Buleleng terjadi bulan April. Saya mencoba memberikan penyadaran mitos-mitos kolot itu dipertahankan dalam konteks kekinian.
Anda sekarang sudah punya berapa puisi?
Saya berangkat dari puisi sejak tahun 1990-an awal sampai sekarang pusi saya ada 200-an. Kalau cerpen, ada 50-an. Sejak 1993 saya memang menulis cerpen, tetapi cerpen-cerpen pop. Selain itu, saya juga menulis esai, features, prosa liris.
Sekarang kepada proses kreatif Anda. Siapa yang banyak berperan hingga Andamenggeluti dunia sastra?
Sebenarnya saya mulai menulis puisi sejak SMP. Saya dulu masuk kelompok pecinta alam. Saya menulis kata-kata puitis dipengaruhi teman duduk saya. Ketika ada pelajaran yang tidak saya sukai, saya menulis puisi. Konyolnya, hinga kini saya tak tahu apakah teman saya itu masih menulis atau tidak. Kelas III SMA saya bertemu dengan Sanggar Minum Kopi, di sinilah saya digojlog. Di sana ada Warih, Tan Lioe Ie, Umbu, merekalah yang menggojlok saya. Selain itu, paman saya, Wayan Langgeng juga mengompori saya. Dia menjadi sparing partner mengkritik puisi-puisi saya. Tapi sekarang dia berhenti menulis, tetapi jadi pemangku.
Anda tidak memiliki pekerjaan rutin dan sepenuhnya menulis?
Ya, pekerjaan saya memang menulis. Tahun 2002, waktu saya tamat kuliah, saya mencoba bekerja di koran, ternyat saya tidak betah. Karena dikejar deadline, nulis hal yang tidak saya suka, wawancara dengan hal yang tidak saya suka. Akhrinya saya mundur dari pekerjaan itu. Agar saya punya kebebasan waktu, saya mempergunakan waktu untuk apa saja, saya kaya dengan waktu. Saya bisa mengatur waktu saya, saya mau bangun siang, mau tidur malam, itu terserah saya. Tapi, saya sadar, ini jalan yang saya pilih yang tentu saja mengandung risiko. Dalam arti, dari segi finansial, saya gali lobang, tutup lobang. Tapi, dari segi kepuasan batin, saya benar-benar puas, saya merasa benar-benar menikmati hidup.
Pernah saya waktu membuat KTP. Saya isi di formulir pekerjaan sebagai penulis. Ternyata, setelah KTP saya jadi, pekerjaan saya diganti dan lain-lain. Ternyata bekerja sebagai penulis, belum diakui di negeri ini. Yang ada itu dan lain-lain.
Bagaimana Anda mengamati kehidupan sastra di Bali?
Di Bali sangat banyak penulis-penulis muda baik penulis cerpen, puisi, novel yang hebat-hebat. Cuma permasalahannya, mereka hanya cukup puas bertempur di tingkat lokal. Mungkin karena tidak mengerti akses cara mengirim ke luar gimana, atau kurang gaul mungkin. Mereka hanya dikenal dan puas di tingkat lokal. Atau mungkin saja mereka menganggap menulis sekadar iseng atau hobi saja. Kalau mereka menganggap menulis sebagai pilihan hidup, mereka akan memperjuangkan itu.

====================================================================
Biodata

Nama Lengkap : Wayan Sunarta
Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar, 22 Juni 1975
Pendidikan : Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Unud
Buku-buku :
1. Obituari bagi yang tak Mati (Antologi Cerpen Lomba Penulisan Cerpen Bali Post, 2001).
2. Muli Sikep (Antologi Cerpen Lomba Cerpen Nasional Krakatau Award, Dewan Kesenian Lampung, 2003).
3. Sepi pun Menari di Tepi Hari (Antologi Cerpen pilihan Komps, 2004).
4. Sphinx Triple X (Antologi Lomba Penulisan Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi, 2004).
5. Antologi Puisi Indonesia (Angkasa, Bandung dan KSI, Jakarta, 1997).
6. Bali After Morning (Antologi puisi, Darma Printing, Australia, 2000).
7. Puisi tak Pernah Pergi (Antologi puisi, Kompas, 2003).
8. Malaikat Biru Kota Hobart (Antologi Puisi, Logung Pustka dan Akar Indonesia, 2004).
9. Maha Duka Aceh (Pusdok HB Jassin, Jakarta, 2005).
10. Cakra Punarbhawa (Kumpulan cerpen tunggal, Gramedia, 2005).

Prestasi Kepengarangan :
1. Juara I Sayembara Penulisan Catatan Perjalanan Harian Bali Post (1993).
2. Sepuluh Cerpen Terbaik dalam Lomba Penulisan Cerpen Nasional Harian Bali Post (2001).
3. Cerpen Pilihan Kompas 2004.
4. Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta.
5. Sepuluh Puisi Terbaik Sanggar Minum Kopi, Bali (1994).
6. Juara I Lomba Penulisan Puisi “Krakatau Award” dari Dewan Kesenian Lampung (2002).


Tidak ada komentar: